Selasa, 24 Februari 2015

SISTEM EKONOMI PADA MASA RASULULLAH SAW

Sistem Ekonomi Pada Masa Rasulullah Saw
SISTEM EKONOMI PADA MASA RASULULLAH SAWSistem Ekonomi Pada Masa Rasulullah Saw
1. Latar Belakang.
Sebelum Islam datang, situasi kota Yatsrib sangat tidak menentu karena tidak mempunyai pemimpin yang berdaulat secara penuh. Hukum dan pemerintahan di kota ini tidak pernah berdiri dengan tegak dan masyarakat dengan senantiasa hidup dalam ketidakpastian. Aus dan Khazraj yang merupakan dua kabilah terbesar di kota Yatsrib senantiasa terlibat dalam pertikaian untuk memperebutkan kekuasaan. Mereka juga berjanji akan selalu menjaga keselamatan diri Nabi dan para pengikutnya serta ikut memelihara dan mengembangkan ajaran Islam.
Atas kedua bai‘at tersebut dan setelah mendapat perintah Allah Swt serta melihat fakta bahwa Islam mengalami tantangan dan rintangan yang sangat berat dari kaum kafir Quraisy selama 13 tahun sejak wahyu pertama diturunkan, Nabi Muhammad Saw berhijrah dari kota Makkah ke kota Yatsrib. Sesuai dengan perjanjian, di kota yang bertanar subur ini, Rasulullah Saw disambut dengan hangat serta diangkat sebagai pemimpin penduduk kota Yatsrib. Sejak saat itu, kota Yatsrib berubah nama menjadi kota Madinah.
Berbeda halnya dengan kota Makkah, Islam menjadi kekuatan politik pada periode Madinah. Dalam jangka waktu yang relatif singkat, Rasulullah Saw telah menjadi pemimpin sebuah komunitas kecil yang jumlahnya terus meningkat dari waktu ke waktu. Rasulullah pun menjadi pemimpin bangsa Madinah. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat (mu’amalah) banyak turun di kota ini. Dengan demikian, pada periode Madinah, Nabi Muhammad Saw mempunyai kedudukan sebagai kepala negara di samping pemimpin agama. Dengan kata lain, dalam diri Nabi Muhammad Saw terkumpul 2 power sekaligus, power spritual dan power kenegaraan.
Setelah diangkat sebagai kepala negara, Rasulullah Saw segera melakukan perubahan drastis dalam menata kehidupan masyarakat Madinah. Hal utama yang dilakukan Rasulullah Saw adalah membangun sebuah kehidupan sosial, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, institusi, maupun pemerintahan, yang bersih dari berbagai tradisi, ritual, dan norma yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Seluruh aspek kehidupan masyarakat disusun berdasarkan nilai-nilai Qur’ani, seperti persaudaraan, persamaan, kebebasan dan keadilan.
kebebasan dan keadilan.
Madinah merupakan negara yang baru terbentuk yang tidak memiliki harta warisan sedikit pun. Hal ini merupakan implikasi nyata dari kehidupan masyarakat Madinah di masa lalu yang selalu dihiasi oleh berbagai peperangan antar suku yang tidak pernah berhenti, hingga Islam hadir di tengah-tengah mereka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kondisi masyarakat Madinah masih sangat tidak menentu dan memprihatinkan yang mengindikasikan bahwa negara tidak dapat dimobilisasi dalam waktu dekat. Oleh karena itu, Rasulullah harus memikirkan jalan untuk mengubah keadaan secara perlahan-lahan dengan mengatasi berbagai masalah utama tanpa tergantung pada faktor keuangan. Dalam hal ini, strategi yang dilakukan oleh Rasulullah adalah dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a.       Membangun Mesjid
Setibanya di kota Madinah, tugas pertama yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah mendirikan mesjid yang merupakan asas utama dan terpenting dalam pembentukan masyarakat Muslim. Rasulullah menyadari bahwa komitmen terhadap sistem, akidah, dan tatanan Islam baru akan tumbuh dan berkembang dari kehidupan sosial yang dijiwai oleh semangat yang lahir dari aktivitas mesjid. Di tempat ini, kaum Muslimin akan sering bertemu dan berkomunikasi, sehingga tali ukhuwwah dan mahabbahsemakin terjalin kuat dan kokoh.
Selain menjadi tempat ibadah, mesjid yang kemudian hari dikenal sebagai Mesjid Nabawi ini juga berfungsi sebagai Islamic Centre. Seluruh aktivitas kaum Muslimin dipusatkan di tempat ini mulai dari tempat pertemuan para anggota parlemen, sekretariat negara, mahkamah agung, markas besar tentara, pusat pendidikan dan pelatihan para juru dakwah, hingga bait al-māl.
Dengan fungsi mesjid yang sedemikian beragam tersebut, Rasulullah Saw berhasil menghindari pengeluaran yang terlalu besar untuk pembangunan infrastruktur bagi Negara Madinah yang baru terbentuk.
b.      Merehabilitasi Kaum Muhajirin
Setelah mendirikan mesjid, tugas berikutnya yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah memperbaiki tingkat sosial dan ekonomi kaum Muhajirin. Kaum Muslimin yang melakukan hijrah pada masa ini berjumlah sekitar 150 keluarga, baik yang sudah tiba di Madinah mau pun yang masih dalam perjalanan, dan berada dalam kondisi yang memprihatinkan karena hanya membawa sedikit perbekalan.
Di kota Madinah, sumber mata pencaharian mereka hanya bergantung pada bidang pertanian dan pemerintah belum mempunyai kemampuan untuk memberikan bantuan keuangan kepada mereka. Menerapkan kebijakan yang sangat arif dan bijaksana, yakni dengan cara menanamkan tali persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Dalam hal ini, Rasulullah Saw membuat suatu bentuk persaudaraan baru, yakni persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan darah.
c.       Membuat Konstitusi Negara
Setelah mendirikan mesjid dan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, tugas berikutnya yang dilakukan Rasulullah Saw adalah menyusun Konstitusi Negara yang menyatakan tentang kedaulatan Madinah sebagai sebuah negara. Dalam konstitusi Negara Madinah ini, pemerintah menegaskan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara, baik Muslim maupun Non-Muslim, serta sistem pertahanan dan keamanan negara. Sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, setiap orang dilarang melakukan berbagai aktivitas yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan manusia dan alam.
d.      Meletakkan Dasar-Dasar Sistem Keuangan Negara
Setelah melakukan berbagai upaya stabilisasi di bidang sosial, politik serta pertahanan dan keamanan negara, Rasulullah meletakkan dasar-dasar sistem keuangan negara sesuai dengan ketentuan-ketentuan Al-Qur’an. Seluruh paradigma berpikir di bidang ekonomi serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dihapus dan digantikan dengan paradigma baru yang sesuai dengan nilai-nilai Qur’ani, yakni persaudaraan, persamaan, kebebasan dan keadilan.
2.      Sistem Ekonomi.
Madinah merupakan negara yang baru terbentuk dengan kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah dari sisi ekonomi. Oleh karena itu, peletakan dasar-dasar sistem keuangan negara yang dilakukan oleh Rasulullah Saw merupakan langkah yang sangat signifikan, sekaligus brilian dan spektakuler pada masa itu, sehingga Islam sebagai sebuah agama dan negara berkembang dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah Saw berakar dari prinsip-prinsip Qur’ani.
Al-Qur’an yang merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam melakuktan aktivitas di setiap aspek kehidupannya, termasuk di bidang ekonomi. Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasaan tertinggi hanya milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Hal ini merupakan suatu anugerah, rahmat serta kasih sayang Allah Swt yang sangat besar terhadap umat manusia.
Dalam rangka mengemban amanah sebagai khalifah-Nya, manusia diberi kebebasan untuk mencari nafkah sesuai dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Islam tidak membatasi kepemilikan pribadi, alat-alat produksi, barang dagangan atau pun perdagangan, tetapi hanya melarang perolehan kekayaan melalui cara-cara yang ilegal atau tidak bermoral.
Allah Swt telah menetapkan melalui sunnah-Nya bahwa jenis pekerjaan atau usaha apa pun yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip Qur’ani tidak akan pernah menjadikan seseorang kaya raya dalam jangka waktu yang singkat. Oleh karena itu, setiap aktivitas ekonomi yang dapat mendatangkan uang dalam jangka waktu yang singkat, seperti perjudian, penimbunan kekayaan, penyelundupan, pasar gelap, spekulasi, korupsi, bunga dan riba, bukan saja tidak sesuai dengan hukum alam dan dilarang, tapi juga para pelakunya layak dihukum.
Berdasarkan pandangannya yang paling prinsip tentang status manusia di muka bumi, Islam dengan tegas dan keras melarang segala bentuk praktek ribawi atau bunga uang. Berbagai pemikiran yang menyatakan bahwa pendapatan yang diperoleh dengan cara-cara ribawi adalah sah, jelas merupakan pendapat yang keliru dan menyesatkan karena praktek-praktek ribawi merupakan bentuk eksploitasi yang nyata. Islam melarang eksploitasi dalam bentuk apa pun, apakah itu dilakukan oleh orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin, oleh penjual terhadap pembeli, oleh majikan terhadap budaknya, oleh laki-laki terhadap wanita, atau oleh atasan terhadap bawahannya.
Kata riba dalam ayat-ayat Al-Qur’an digunakan sebagai terjemahan dari bunga uang yang tinggi. Terminologi dan sistem ini telah dikenal pada masa Jahiliyyah dan periode awal Islam, yakni sebagai bunga uang yang sangat tinggi yang dikenakan terhadap modal pokok. Jika ayat-ayat yang melarang berbagai praktek ribawi ditelaah lebih dalam dan komprehensif, terlihat jelas bahwa Islam sangat menentang keras setiap praktek ribawi, baik dalam jumlah yang sangat tinggi atau pun rendah. Pernyataan orang-orang kafir bahwa berdagang adalah sama dengan riba ditentang oleh Al-Qur’an, bahkan para pelakunya diancam dengan siksaan yang sangat pedih di akhirat kelak.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan beberapa prinsip pokok tentang kebijakan ekonomi Islam yang dijelaskan Al-Qur’an sebagai berikut:
a.       Allah Swt adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolut seluruh alam semesta.
b.      Manusia hanyalah khalifah Allah Swt di muka bumi, bukan pemilik yang sebenarnya. Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah atas rahmat Allah Swt. Oleh karena itu, manusia yang kurang beruntung mempunyai hak atas sebagian kekayaan yang dimiliki saudaranya.
c.       Kekayaan harus berputar dan tidak boleh ditimbun.
d.      Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya, termasuk riba, harus dihilangkan.
e.       Menerapkan sistem warisan sebagai media redistribusi kekayaan yang dapat mengeliminasi berbagai konflik individu.
f.       Menetapkan berbagai bentuk sedekah, baik yang bersifat wajib maupun sukarela, terhadap para individu yang memiliki harta kekayaan yang banyak untuk membantu para anggota masyarakat yang tidak mampu.
3.      Keuangan dan Pajak.
a.       Sumber-Sumber Pendapatan Negara
Surah Al-Anfāl (rampasan perang) pada tahun ke-2 Hijriyyah. Dalam ayat ini, Allah Swt menentukan tata cara pembagian hargaghanimah dengan formulasi sebagai berikut:
i.                    Seperlima bagian untuk Allah dan Rasul-Nya (seperti untuk negara yang dialokasikan bagi kesejahteraan umum), dan untuk para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan para musafir. Bagian seperlima ini dikenal dengan istilah khums. Pada umumnya, Rasulullah Saw membagi khums menjadi 3 bagian; pertama untuk dirinya dan keluarganya, kedua; untuk kerabatnya, dan ketiga; untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin dan para musafir.
ii.                  Empat perlima bagian lainnya dibagikan kepada para anggota pasukan yang terlibat dalam peperangan (pada kasus tertentu, beberapa orang yang tidak terlibat dalam peperangan juga memperoleh bagian). Penunggang kuda memperoleh 2 bagian, yakni untuk dirinya sendiri dan untuk kudanya. Yang berhak memperoleh bagian adalah hanya tentara laki-laki, sedangkan wanita yang hadir untuk membantu beberapa hal tidak berhak memperoleh bagian dari rampasan perang.
Pada tahun ke-2 Hijriyyah, Allah Swt mewajibkan kaum Muslimin menunaikan zakat fitrah pada setiap bulan Ramadhan. Besar zakat ini adalah 1 sha’ kurma, tepung, keju lembut, atau kismis; atau setengah sha’ gandum, untuk setiap Muslim, baik budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, muda atau tua, serta dibayarkan sebelum pelaksanaan shalat ‘Id. Setelah kondisi perekonomian kaum Muslimin stabil, tahap selanjutnya Allah Swt mewajibkan zakat māl pada tahun ke-9 Hijriyyah.
Pada masa pemerintahannya, Rasulullah Saw menerapkan jizyah, yakni pajak yang dibebankan kepada orang-orang non-Muslim, khususnya Ahli Kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib militer. Besarnya jizyah adalah 1 dinar/tahun untuk setiap laki-laki dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa, dan semua yang menderita penyakit dibebaskan dari kewajiban ini.
Pada masa Rasulullah Saw, zakat dikenakan pada hal-hal berikut:
i.                    Benda logam yang terbuat dari emas, seperti koin, perkakas, perhiasan atau dalam bentuk lainnya.
ii.                  Benda logam yang terbuat dari perak, seperti koin, perkakas, perhiasan atau dalam bentuk lainnya.
iii.                Binatang ternak, seperti unta, sapi, domba dan kambing.
iv.                Berbagai jenis barang dagangan, seperti budak dan hewan.
v.                  Hasil pertanian, seperti buah-buahan.
vi.                Harta benda yang ditinggalkan musuh.
vii.              Luqaţah, Barang temuan.
Data sejarah menunjukkan bahwa jumlah total pendapatan negara pada masa Rasulullah Saw tidak dapat diketahui. Menurut para sejarawan Muslim, hal ini disebabkan beberapa alasan, yaitu:
i.                     Jumlah kaum Muslimin yang bisa membaca sedikit, dan dari jumlah ini, orang yang dapat menulis atau mengenal aritmatika sederhana berjumlah lebih sedikit lagi.
ii.                  Sebagian besar pendapatan bernilai setara dan didistribusikan atau diberikan dalam bentuk yang sama.
iii.                Sebagain besar pendapatan zakat hanya didistribusikan secara lokal.
iv.                Bukti-bukti penerimaan dari berbagai daerah yang berbeda tidak umum digunakan.
v.                  Pada kebanyakan kasus, harta ghanimahdidistribusikan berselang tidak lama setelah terjadi peperangan tertentu.
b.      Sumber-Sumber Pengeluaran Negara
Catatan mengenai pengeluaran secara rinci pada masa pemerintahan Rasulullah Saw juga tidak tersedia. Namun demikian, hal ini tidak berarti menimbulkan kesimpulan bahwa sistem keuangan yang ada pada masa itu tidak berjalan dengan baik dan benar. Rasulullah senantian memberikan perintah yang jelas dan tegas kepada para petugas yang sudah terlatih.
Dalam kebanyakan kasus, beliau menyerahkan pencatatan penerimaan zakat kepada masing-masing petugas. Setiap perlindungan yang ada disimpan dan diperiksa sendiri oleh Rasulullah, dan setiap hadiah yang diterima oleh para pengumpul zakat akan disita, seperti yang terjadi pada kasus Al-Lutbigha, pengumpul zakat dari Bani Salim. Berkaitan dengan pengumpulan zakat ini, Rasulullah sangat menaruh perhatian terhadap zakat harta, terutama zakat unta.
Orang Urania pernah diberi hukuman berat karena mencuri zakat unta. Hasil pengumpulan kharaj dan jizyah didistribusikan melalui suatu daftar pembayaran yang berisi nama-nama orang yang berhak menerimanya. Masing-masing menerima bagian sesuai dengan kondisi materialnya, orang yang sudah menikah memperoleh bagian dua kali lebih besar daripada orang yang belum menikah.
4.      Bait al-Māl.
Sebelum Islam hadir di tengah-tengah umat manusia, pemerintahan suatu negara dipandang sebagai satu-satunya penguasa kekayaan dan perbendaharaan negara. Dengan demikian, pemerintah bebas mengambil harta kekayaan rakyatnya sebanyak mungkin serta membelanjakannya sesuka hati. Hal ini berarti, sebelum Islam datang, tidak ada konsep tentang keuangan publik dan perbendaharaan negara di dunia.
Dalam negara Islam, tampuk kekuasaan dipandang sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan sesuai perintah Al-Qur’an. Hal ini telah dipraktekkan oleh Rasulullah Saw sebagai seorang kepala negara secara baik dan benar. Beliau tidak menganggap dirinya sebagai seorang raja atau pemerintah dari suatu negara tetapi sebagai orang yang diberikan amanah untuk mengatur urusan negara.

Namun, tidak disebutkan adanya seorang bendaharawan negara. Kondisi seperti ini hanya mungkin terjadi di lingkungan yang mempunyai sistem pengawasan yang ketat. Pada perkembangan berikutnya, institusi ini memainkan peran yang sangat penting dalam bidang keuangan dan administrasi negara, terutama pada masa pemerintahan Al-Khulafa Ar-Rasyidun.

1 komentar: