1. Sistem Ekonomi Pada Masa Pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M).
Setelah
Rasulullah Saw wafat, Abu Bakar Ash-Shiddiq yang bernama lengkap Abdullah bin
Abu Quhafah At-Tamimi terpilih sebagai khalifah Islam yang pertama. Ia
merupakan pemimpin agama sekaligus kepala negara kaum Muslimin. Pada masa
pemerintahannya yang hanya berlangsung 2 tahun, Abu Bakar Ash-Shiddiq banyak
menghadapi persoalan dalam negeri yang berasal dari kelompok murtad, nabi
palsu, dan pembangkang zakat. Berdasarkan hasil musyawarah dengan para sahabat
yang lain, ia memutuskan untuk memerangi kelompok tersebut melalui apa yang
disebut sebagai perang Riddah (perang melawan kemurtadan).
Setelah
berhasil menyelesaikan urusan dalam negeri, Abu Bakar mulai melakukan ekspansi
ke wilayah utara untuk menghadapi pasukan Romawi dan Persia yang selalu
mengancam kedudukan umat Islam. Namun, ia meninggal dunia sebelum misi ini
selesai dilakukan.
Dengan
demikian, selama pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, harta Bait
Al-Māl tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung
didistribusikan kepada seluruh kaum Muslimin, bahkan ketika Abu Bakar
Ash-Shiddiq wafat, hanya ditemukan 1 dirham dalam perbendaharaan negara.
Seluruh kaum Muslimin diberikan bagian yang sama dari hasil pendapatan negara.
Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum Muslimin mendapat manfaat yang sama
dan tidak ada seorang pun yang dibiarkan dalam kemiskinan. Kebijakan tersebut
berimplikasi pada peningkatan aggregate demand dan aggregate
supply yang pada akhirnya akan menaikkan total pendapatan nasional, di
samping memperkecil jurang pemisah antara orang-orang yang kaya dengan yang
miskin.
2.
Sistem
Ekonomi Pada Masa Pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M).
Pada masa
pemerintahannya yang berlangsung selama 10 tahun, Umar bin Khattab banyak
melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi Jazirah Arab, sebagian wilayah
kekuasaan Romawi (Syria, Palestian dan Mesir), serta seluruh wilayah kerajaan
Persia, termasuk Irak. Atas keberhasilannya tersebut, orang-orang Barat
menjuluki Umar sebagai The Saint Paul of Islam.
Karena
perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar bin Khattab segera mengatur
administrasi negara dengan mencontoh Persia. Administrasi pemerintah diatur
menjadi delapan wilayah provinsi, yaitu Makkah, Madinah, Syria, Jazirah,
Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir. Ia juga membentuk jawatan kepolisian dan
jawatan tenaga kerja.
a.
Pendirian
Lembaga Bait Al-Māl
Dalam catatan
sejarah, pembangunan institusi Bait Al-Māl dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu
Hurairah yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Bahrain dengan membawa harta
hasil pengumpulan pajak kharaj sebesar 500.000 dirham (sekitar Rp. 35
M). Hal ini terjadi pada tahun 16 H. Oleh karena jumlah tersebut sangat besar,
Khalifah Umar mengambil inisiatif memanggil dan mengajak para sahabat terkemuka
untuk bermusayawarah tentang penggunaan dana Bait Al-Māl tersebut. Setelah
melalui diskusi yang cukup panjang, Khalifah Umar memutuskan untuk tidak
mendistribusikan harta Bait Al-Māl, tetapi disimpan sebagai cadangan, baik
untuk keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara maupun berbagai kebutuhan
umat lainnya.
Khalifah Umar
bin Khattab juga membuat ketentuan bahwa pihak ekskutif tidak boleh turut
campur dalam mengelola harta Bait Al-Māl. Di tingkat provinsi, pejabat yang
bertanggungjawab terhadap harta umat tidak bergantung kepada gubernur, dan
mereka mempunyai otoritas penuh dalam melaksanakan tugasnya serta
bertanggungjawab langsung kepada pemerintah pusat.
Untuk
mendistribusikan harta Bait Al-Māl, Khalifah Umar bin Khattab mendirikan
beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti:
i.
Departemen
Pelayanan Militer. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan
kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan.
ii.
Departemen
Kehakiman dan Ekskutif. Bertanggungjawab atas pembayaran gaji para hakim dan
pejabat ekskutif.
iii.
Departemen
Pendidikan dan Pengembangan Islam. Departemen ini mendistribusikan bantuan dana
bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti guru dan
juru dakwah.
iv.
Departemen
Jaminan Sosial. Berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh
fakir miskin dan orang-orang yang menderita.
b.
Kepemilikan Tanah
Selama
pemerintahan Khalifah Umar, wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan
banyaknya daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan
maupun secara damai. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan baru. Pertanyaan
yang paling mendasar dan utama adalah kebijakan apa yang akan diterapkan negara
terhadap kepemilikan tanah-tanah yang berhasil ditaklukkan tersebut. Para
tentara dan beberapa sahabat terkemuka menuntut agar tanah hasil taklukan
tersebut dibagikan kepada mereka yang terlibat dalam peperangan. Sementara
sebagian kaum Muslimin yang lain menolak pendapat tersebut. Muadz bin Jabal,
salah seorang di antara mereka yang menolak, mengatakan, “Apabila engkau
membagikan tanah tersebut, hasilnya tidak akan menggembirakan. Bagian yang
bagus akan menjadi milik mereka yang tidak lama akan meninggal dunia dan
keseluruhannya akan menjadi milik seorang saja.”
Mayoritas
sumber pemasukan pajak kharaj berasal dari daerah-daerah bekas
kerajaan Romawi dan Sasanid (Persia) dan hal ini membutuhkan suatu sistem
administrasi yang terperinci untuk penaksiran, pengumpulan, dan pendistribusian
pendapatan yang diperoleh dari pajak tanah-tanah tersebut.
i.
Wilayah Irak
yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik Muslim dan kepemilikan ini tidak
dapat diganggu gugat. Sedangkan bagian wilayah yang berada di bawah perjanjian
damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya, dan kepemilikan tersebut dapat
dialihkan.
ii.
Kharaj dibebankan
kepada semua tanah yang berada di bawah kategori pertama, meskipun pemilik
tanah tersebut memeluk agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak
dapat dikonversi menjadi tanah‘usyr.
iii.
Bekas pemilik
tanah diberi hak kepemilikan selama mereka
membayar kharaj dan jizyah.
iv.
Tanah yang
tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang diklaim kembali
(seperti Bashra) bila diolah oleh kaum Muslimin diperlakukan sebagai
tanah ‘usyr.
v.
Di
Sawad, kharaj dibebankan sebesar 1 dirham (sekitar Rp. 70.000) dan
1 rafiz (suatu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis
gandum) dengan asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi
dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.
vi.
Di Mesir,
berdasarkan perjanjian Amar, setiap pemilik tanah dibebankan pajak sebesar 2
dinar (sekitar Rp. 4 juta), di samping 3 irdabb gandum,
2 qist untuk setiap minyak, cuka, madu, dan rancangan ini telah
disetujui Khalifah.
vii.
Perjanjian
Damaskus (Syria) berisi pembayaran tunai, pembagian tanah dengan kaum Muslimin,
beban pajak untuk setiap orang sebesar 1 dinar (sekitar Rp. 2 juta) dan 1
beban jarib (unit berat) yang diproduksi per jarib(ukuran)
tanah.
c.
Zakat
Pada masa
Rasulullah Saw, jumlah kuda di Arab masih sangat sedikit, terutama yang
dimiliki oleh kaum Muslimin karena digunakan untuk kebutuhan pribadi dan jihad.
Di Hudaibiyah mereka mempunyai sekitar 200 ekor kuda. Karena zakat dibebankan
terhadap barang-barang yang memiliki produktivitas, seorang budak atau seekor
kuda yang dimiliki kaum Muslimin ketika itu tidak dikenakan zakat.
Pada masa Umar,
Gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik sarang lebah tidak membayar ‘usyr,
tetapi menginginkan sarang-sarang lebah tersebut dilindungi secara resmi. Umar
mengatakan bahwa bila mereka mau membayar ‘usyr, sarang lebah mereka akan
dilindungi. Namun, jika menolak, mereka tidak akan memperoleh perlindungan.
Zakat yang ditetapkan adalah 1/20 untuk madu yang pertama dan
1/10 untuk madu jenis yang kedua.
d.
‘Usyr
Sebelum Islam
datang, setiap suku atau kelompok yang tinggal di pedesaan bisa membayar pajak
(‘usyr) jual-beli. Besarnya adalah 10% dari nilai barang atau 1 dirham untuk
setiap transaksi. Namun, setelah Islam hadir dan menjadi sebuah negara yang
berdaulat di semenanjung Arab, Nabi mengambil inisiatif untuk mendorong usaha
perdagangan dengan menghapus bea masuk antar provinsi yang masuk dalam wilayah
kekuasaan dan masuk dalam perjanjian yang ditandatangani oleh beliau bersama
dengan suku-suku yang tunduk kepada kekuasaan beliau. Secara jelas dikatakan
bahwa pembebanan 1/10 hasil pertanian kepada pedagang Manbij (Hierapolis).
Menurut Saib
bin Yazid, pengumpul ‘usyr di pasar-pasar Madinah, orang-orang
Nabaeteari yang berdagang di Madinah juga dikenakan pajak pada tingkat yang
umum. Tetapi setelah beberapa waktu, Umar menurunkan persentasenya menjadi 5%
untuk minyak dan gandum, untuk mendorong import barang-barang tersebut di kota.
e.
Sedekah Dari
Non-Muslim
Tidak ada Ahli
Kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen Bani Taglib
yang seluruh kekayaannya terdiri dari hewan ternak. Mereka membayar 2x lipat
dari yang dibayar kaum Muslimin. Bani Taglib merupakan suku Arab Kristen yang
gigih dalam peperangan. Umar mengenakan jizyah kepada mereka, tetapi
mereka terlalu gengsi sehingga menolak membayarjizyah dan malah membayar
sedekah.
Nu’man bin
Zuhra memberikan alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan bahwa pada
dasarnya tidak bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya
keberanian mereka menjadi aset negara. Umar pun memanggil mereka dan
menggandakan sedekah yang harus mereka bayar dengan syarat mereka setuju untuk tidak
membaptis seorang anak atau memaksanya untuk menerima kepercayaan mereka.
Mereka setuju dan menerima untuk membayar sedekah ganda.
f.
Mata Uang
Pada masa Nabi
dan sepanjang masa pemerintahan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun, koin mata uang asing
dengan berbagai bobot telah dikenal di jazirah Arab, seperti dinar (sebuah koin
emas dengan kadar 4,25 gram dan 22 karat), dan dirham (sebuah koin perak dengan
kadar 3,98 gram dan 15 karat). Bobot dinar adalah sama dengan
1 mitsqal atau sama dengan 20 qirat atau 100 grains of
barky.
g.
Klasifikasi dan
Alokasi Pendapatan Negara
Seperti yang
telah disinggung di muka, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendapatan
negara adalah mendistribusikan seluruh pendapatan yang diterima. Pada masa
pemerintahannya, Umar bin Khattab mengklasifikasi pendapatan negara menjadi 4
bagian, yaitu:
i.
Pendapatan
zakat dan ‘usyr. Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal. Dan jika
terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut di simpan di Bait Al-Māl pusat dan
dibagikan kepada delapan ashnaf, seperti yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an.
ii.
Pendapatan khums dan
sedekah. Pendapatan ini didistribusikan kepada para fakir miskin atau untuk
membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang Muslim atau
bukan. Dalam sebuah riwayat, di perjalanan menuju Damaskus, Khalifah Umar
bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita penyakit kaki gajah. Melihat hal
tersebut, Khalifah Umar segera memerintahkan pegawainya agar memberikan dana
kepada orang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah dan makanan
yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.
iii.
Pendapatan kharaj, fai’, jizyah, ‘usyr (pajak
perdagangan), dan sewa tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana
pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional administrasi,
kebutuhan militer, dan sebagainya.
iv.
Pendapatan
lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaan
anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.
h.
Pengeluaran
Di antara
alokasi pengeluaran dari harta Bait Al-Māl tersebut, dana pensiun merupakan
pengeluaran negara yang paling penting. Prioritas berikutnya adalah dana
pertahanan negara dan dana pembangunan.
Seperti yang
telah dijelaskan, Khalifah Umar menempatkan dana pensiun di tempat pertama
dalam bentuk rangsum bulanan (arzaq) pada tahun 18 H. Dan selanjutnya pada
tahun 20 H dalam bentuk rangsum tahunan (‘athiyya). Dana pensiun ditetapkan
untuk mereka yang akan dan pernah bergabung dalam kemiliteran. Dengan kata
lain, dana pensiun ini sama halnya dengan gaji reguler angkatan bersenjata dan
pasukan cadangan serta penghargaan bagi orang-orang yang telah berjasa.
Dana ini juga
meliputi upah yang dibayarkan kepada para pegawai sipil. Sejumlah penerima dana
pensiun juga ditugaskan untuk melaksanakan kewajiban sipil, tetapi mereka
dibayar bukan untuk itu.
Seperti halnya
yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, Khalifah Umar menetapkan bahwa negara
bertanggungjawab membayarkan atau melunasi utang orang-orang yang menderita
pailit atau jatuh miskin, membayar tebusan para tahanan Muslim,
membayar diyatorang-orang tertentu, serta membayar biaya perjalanan para
delegasi dan tukar-menukar hadiah dengan negara lain. Dalam perkembangan
berikutnya, setelah kondisi Bait Al-Māl dianggap cukup kuat, ia menambahkan
beberapa pengeluaran lain dan memasukkannya ke dalam daftar kewajiban negara,
seperti memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.
3.
Sistem
Ekonomi di Masa Pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M).
Pada masa
pemerintahannya yang berlangsung selama 12 tahun, Khalifah Utsman bin Affan
berhasil melakukan ekspansi ke wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan
bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania dan Tabaristan. Ia juga berhasil
menumpas pemberontakan di daerah Khurasan dan Iskandariah.
Pada enam tahun
pertama masa pemerintahannya, Khalifah Utsman bin Affan melakukan penataan baru
dengan mengikuti kebijakan Umar bin Khattab. Dalam rangka pengembangan sumber
daya alam, ia melakukan pembuatan saluran air, pembangunan jalan-jalan, dan
pembentukan organisasi kepolisian secara permanen untuk mengamankan jalur
perdagangan. Khalifah Utsman bin Affan juga membentuk armada laut kaum Muslimin
di bawah komando Muawiyah, hingga berhasil membangun supremasi kelautannya di
wilayah Mediterania, Laodicea, dan wilayah di semenanjung Syria, Tripoli dan
Barca di Afrika Utara menjadi pelabuhan pertama negara Islam. Namun demikian,
pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan harus menanggung beban anggaran yang
tidak sedikit untuk memelihara angkatan laut tersebut.
Khalifah Utsman
bin Affan tidak mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, ia meringankan beban
pemerintah dalam hal-hal yang serius, bahkan menyimpan uangnya di bendahara
negara.
Dalam hal
pengelolaan zakat, Khalifah Utsman bin Affan mendelegasikan kewenangan menaksir
harta yang dizakati dari berbagai gangguan dan masalah dalam pemeriksaan
kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat. Di samping itu,
Khalifah Utsman berpendapat bahwa zakat dikenakan terhadap harta milik
seseorang setelah dipotong seluruh utang-utang yang bersangkutan. Ia juga
mengurangi zakat dari dana pensiun.
Memasuki enam
tahun kedua masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, tidak terdapat
perubahan situasi ekonomi yang cukup signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah
Utsman bin Affan telah banyak menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada
sebagian besar kaum Muslimin. Akibatnya pada masa ini, pemerintahannya lebih
banyak diwarnai kekacauan politik yang berakhir dengan terbunuhnya sang
Khalifah.
4.
Sistem
Ekonomi di Masa Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M).
Masa
pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang hanya berlangsung selama 6 tahun
selalu diwarnai dengan ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus
menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair bin Awwam dan Aisyah yang menuntut
kematian Utsman bin Affan.
Sekalipun
demikian, Khalifah Ali bin Abi Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan
berbagai kebijakan yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam.
Pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, prinsip utama
dari pemerataan distribusi uang rakyat telah diperkenalkan. Sistem distribusi
setiap pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Hari kamis adalah hari
pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari itu, semua perhitungan
diselesaikan. Dan pada hari sabtu dimulai perhitungan baru. Cara ini mungkin
solusi yang terbaik dari sudut pandang hukum dan kondisi negara yang sedang
berada dalam masa-masa transisi. Khalifah Ali meningkatkan tunjangan bagi para
pengikutnya di Irak.
Khalifah Ali
memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan
masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya
yang terkenal ditujukan kepada Malik Ashter bin Harits. Surat yang panjang
tersebut antara lain mendeskripsikan tugas, kewajiban serta tanggung jawab para
penguasa dalam mengatur berbagai prioritas pelaksanaan dispensasi keadilan
serta pengawasan terhadap para pejabat tinggi dan staf-stafnya serta
menjelaskan kelebihan dan kekurangan para jaksa, hakim dan abdi hukum lainnya.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut