SISTEM EKONOMI PADA MASA RASULULLAH SAW - Sistem Ekonomi Pada Masa Rasulullah Saw
1. Latar Belakang.
Sebelum Islam
datang, situasi kota Yatsrib sangat tidak menentu karena tidak mempunyai
pemimpin yang berdaulat secara penuh. Hukum dan pemerintahan di kota ini tidak
pernah berdiri dengan tegak dan masyarakat dengan senantiasa hidup dalam
ketidakpastian. Aus dan Khazraj yang merupakan dua kabilah terbesar di kota
Yatsrib senantiasa terlibat dalam pertikaian untuk memperebutkan kekuasaan.
Mereka juga berjanji akan selalu menjaga keselamatan diri Nabi dan para
pengikutnya serta ikut memelihara dan mengembangkan ajaran Islam.
Atas kedua
bai‘at tersebut dan setelah mendapat perintah Allah Swt serta melihat fakta
bahwa Islam mengalami tantangan dan rintangan yang sangat berat dari kaum kafir
Quraisy selama 13 tahun sejak wahyu pertama diturunkan, Nabi Muhammad Saw
berhijrah dari kota Makkah ke kota Yatsrib. Sesuai dengan perjanjian, di kota
yang bertanar subur ini, Rasulullah Saw disambut dengan hangat serta diangkat
sebagai pemimpin penduduk kota Yatsrib. Sejak saat itu, kota Yatsrib berubah
nama menjadi kota Madinah.
Berbeda halnya
dengan kota Makkah, Islam menjadi kekuatan politik pada periode Madinah. Dalam
jangka waktu yang relatif singkat, Rasulullah Saw telah menjadi pemimpin sebuah
komunitas kecil yang jumlahnya terus meningkat dari waktu ke waktu. Rasulullah
pun menjadi pemimpin bangsa Madinah. Ajaran Islam yang berkenaan dengan
kehidupan masyarakat (mu’amalah) banyak turun di kota ini. Dengan demikian,
pada periode Madinah, Nabi Muhammad Saw mempunyai kedudukan sebagai kepala
negara di samping pemimpin agama. Dengan kata lain, dalam diri Nabi Muhammad
Saw terkumpul 2 power sekaligus, power spritual dan power kenegaraan.
Setelah
diangkat sebagai kepala negara, Rasulullah Saw segera melakukan perubahan
drastis dalam menata kehidupan masyarakat Madinah. Hal utama yang dilakukan
Rasulullah Saw adalah membangun sebuah kehidupan sosial, baik di lingkungan
keluarga, masyarakat, institusi, maupun pemerintahan, yang bersih dari berbagai
tradisi, ritual, dan norma yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Seluruh aspek kehidupan masyarakat disusun berdasarkan nilai-nilai Qur’ani,
seperti persaudaraan, persamaan, kebebasan dan keadilan.
kebebasan dan keadilan.
Madinah
merupakan negara yang baru terbentuk yang tidak memiliki harta warisan sedikit
pun. Hal ini merupakan implikasi nyata dari kehidupan masyarakat Madinah di
masa lalu yang selalu dihiasi oleh berbagai peperangan antar suku yang tidak
pernah berhenti, hingga Islam hadir di tengah-tengah mereka. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa kondisi masyarakat Madinah masih sangat tidak menentu dan
memprihatinkan yang mengindikasikan bahwa negara tidak dapat dimobilisasi dalam
waktu dekat. Oleh karena itu, Rasulullah harus memikirkan jalan untuk mengubah
keadaan secara perlahan-lahan dengan mengatasi berbagai masalah utama tanpa
tergantung pada faktor keuangan. Dalam hal ini, strategi yang dilakukan oleh
Rasulullah adalah dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Membangun
Mesjid
Setibanya di
kota Madinah, tugas pertama yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah
mendirikan mesjid yang merupakan asas utama dan terpenting dalam pembentukan
masyarakat Muslim. Rasulullah menyadari bahwa komitmen terhadap sistem, akidah,
dan tatanan Islam baru akan tumbuh dan berkembang dari kehidupan sosial yang
dijiwai oleh semangat yang lahir dari aktivitas mesjid. Di tempat ini, kaum
Muslimin akan sering bertemu dan berkomunikasi, sehingga
tali ukhuwwah dan mahabbahsemakin terjalin kuat dan kokoh.
Selain menjadi tempat ibadah, mesjid yang kemudian hari dikenal
sebagai Mesjid Nabawi ini juga berfungsi sebagai Islamic Centre. Seluruh
aktivitas kaum Muslimin dipusatkan di tempat ini mulai dari tempat pertemuan
para anggota parlemen, sekretariat negara, mahkamah agung, markas besar
tentara, pusat pendidikan dan pelatihan para juru dakwah, hingga bait
al-māl.
Dengan fungsi
mesjid yang sedemikian beragam tersebut, Rasulullah Saw berhasil menghindari
pengeluaran yang terlalu besar untuk pembangunan infrastruktur bagi Negara
Madinah yang baru terbentuk.
b.
Merehabilitasi
Kaum Muhajirin
Setelah mendirikan mesjid, tugas berikutnya yang dilakukan oleh
Rasulullah Saw adalah memperbaiki tingkat sosial dan ekonomi kaum Muhajirin.
Kaum Muslimin yang melakukan hijrah pada masa ini berjumlah sekitar 150
keluarga, baik yang sudah tiba di Madinah mau pun yang masih dalam perjalanan,
dan berada dalam kondisi yang memprihatinkan karena hanya membawa sedikit
perbekalan.
Di kota
Madinah, sumber mata pencaharian mereka hanya bergantung pada bidang pertanian
dan pemerintah belum mempunyai kemampuan untuk memberikan bantuan keuangan
kepada mereka. Menerapkan kebijakan yang sangat arif dan bijaksana, yakni
dengan cara menanamkan tali persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar.
Dalam hal ini, Rasulullah Saw membuat suatu bentuk persaudaraan baru, yakni
persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan darah.
c.
Membuat
Konstitusi Negara
Setelah
mendirikan mesjid dan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, tugas
berikutnya yang dilakukan Rasulullah Saw adalah menyusun Konstitusi Negara yang
menyatakan tentang kedaulatan Madinah sebagai sebuah negara. Dalam konstitusi
Negara Madinah ini, pemerintah menegaskan tentang hak, kewajiban dan tanggung
jawab setiap warga negara, baik Muslim maupun Non-Muslim, serta sistem
pertahanan dan keamanan negara. Sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, setiap
orang dilarang melakukan berbagai aktivitas yang dapat mengganggu stabilitas
kehidupan manusia dan alam.
d.
Meletakkan Dasar-Dasar
Sistem Keuangan Negara
Setelah
melakukan berbagai upaya stabilisasi di bidang sosial, politik serta pertahanan
dan keamanan negara, Rasulullah meletakkan dasar-dasar sistem keuangan negara
sesuai dengan ketentuan-ketentuan Al-Qur’an. Seluruh paradigma berpikir di
bidang ekonomi serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam dihapus dan digantikan dengan paradigma baru yang sesuai
dengan nilai-nilai Qur’ani, yakni persaudaraan, persamaan, kebebasan dan keadilan.
2.
Sistem Ekonomi.
Madinah
merupakan negara yang baru terbentuk dengan kemampuan daya mobilitas yang
sangat rendah dari sisi ekonomi. Oleh karena itu, peletakan dasar-dasar sistem
keuangan negara yang dilakukan oleh Rasulullah Saw merupakan langkah yang sangat
signifikan, sekaligus brilian dan spektakuler pada masa itu, sehingga Islam
sebagai sebuah agama dan negara berkembang dengan pesat dalam jangka waktu yang
relatif singkat.
Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah Saw berakar dari
prinsip-prinsip Qur’ani.
Al-Qur’an yang
merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai
petunjuk bagi umat manusia dalam melakuktan aktivitas di setiap aspek
kehidupannya, termasuk di bidang ekonomi. Prinsip Islam yang paling mendasar
adalah kekuasaan tertinggi hanya milik Allah semata dan manusia diciptakan
sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Hal ini merupakan suatu anugerah, rahmat
serta kasih sayang Allah Swt yang sangat besar terhadap umat manusia.
Dalam rangka
mengemban amanah sebagai khalifah-Nya, manusia diberi kebebasan untuk mencari
nafkah sesuai dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang adil. Islam
tidak membatasi kepemilikan pribadi, alat-alat produksi, barang dagangan atau
pun perdagangan, tetapi hanya melarang perolehan kekayaan melalui cara-cara
yang ilegal atau tidak bermoral.
Allah Swt telah
menetapkan melalui sunnah-Nya bahwa jenis pekerjaan atau usaha apa pun yang
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip Qur’ani tidak akan pernah menjadikan
seseorang kaya raya dalam jangka waktu yang singkat. Oleh karena itu, setiap
aktivitas ekonomi yang dapat mendatangkan uang dalam jangka waktu yang singkat,
seperti perjudian, penimbunan kekayaan, penyelundupan, pasar gelap, spekulasi,
korupsi, bunga dan riba, bukan saja tidak sesuai dengan hukum alam dan
dilarang, tapi juga para pelakunya layak dihukum.
Berdasarkan
pandangannya yang paling prinsip tentang status manusia di muka bumi, Islam
dengan tegas dan keras melarang segala bentuk praktek ribawi atau bunga uang.
Berbagai pemikiran yang menyatakan bahwa pendapatan yang diperoleh dengan
cara-cara ribawi adalah sah, jelas merupakan pendapat yang keliru dan
menyesatkan karena praktek-praktek ribawi merupakan bentuk eksploitasi yang
nyata. Islam melarang eksploitasi dalam bentuk apa pun, apakah itu dilakukan
oleh orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin, oleh penjual terhadap
pembeli, oleh majikan terhadap budaknya, oleh laki-laki terhadap wanita, atau
oleh atasan terhadap bawahannya.
Kata riba dalam
ayat-ayat Al-Qur’an digunakan sebagai terjemahan dari bunga uang yang tinggi.
Terminologi dan sistem ini telah dikenal pada masa Jahiliyyah dan periode awal
Islam, yakni sebagai bunga uang yang sangat tinggi yang dikenakan terhadap
modal pokok. Jika ayat-ayat yang melarang berbagai praktek ribawi ditelaah
lebih dalam dan komprehensif, terlihat jelas bahwa Islam sangat menentang keras
setiap praktek ribawi, baik dalam jumlah yang sangat tinggi atau pun rendah.
Pernyataan orang-orang kafir bahwa berdagang adalah sama dengan riba ditentang oleh
Al-Qur’an, bahkan para pelakunya diancam dengan siksaan yang sangat pedih di
akhirat kelak.
Dari pemaparan
di atas, dapat disimpulkan beberapa prinsip pokok tentang kebijakan ekonomi
Islam yang dijelaskan Al-Qur’an sebagai berikut:
a.
Allah Swt
adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolut seluruh alam semesta.
b.
Manusia
hanyalah khalifah Allah Swt di muka bumi, bukan pemilik yang
sebenarnya. Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah atas rahmat Allah
Swt. Oleh karena itu, manusia yang kurang beruntung mempunyai hak atas sebagian
kekayaan yang dimiliki saudaranya.
c.
Kekayaan harus
berputar dan tidak boleh ditimbun.
d.
Eksploitasi
ekonomi dalam segala bentuknya, termasuk riba, harus dihilangkan.
e.
Menerapkan
sistem warisan sebagai media redistribusi kekayaan yang dapat mengeliminasi
berbagai konflik individu.
f.
Menetapkan
berbagai bentuk sedekah, baik yang bersifat wajib maupun sukarela, terhadap
para individu yang memiliki harta kekayaan yang banyak untuk membantu para
anggota masyarakat yang tidak mampu.
3.
Keuangan dan
Pajak.
a.
Sumber-Sumber
Pendapatan Negara
Surah Al-Anfāl
(rampasan perang) pada tahun ke-2 Hijriyyah. Dalam ayat ini, Allah Swt
menentukan tata cara pembagian hargaghanimah dengan formulasi sebagai
berikut:
i.
Seperlima
bagian untuk Allah dan Rasul-Nya (seperti untuk negara yang dialokasikan bagi
kesejahteraan umum), dan untuk para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, dan para musafir. Bagian seperlima ini dikenal dengan
istilah khums. Pada umumnya, Rasulullah Saw membagi khums menjadi
3 bagian; pertama untuk dirinya dan keluarganya, kedua; untuk kerabatnya, dan
ketiga; untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin dan para musafir.
ii.
Empat perlima
bagian lainnya dibagikan kepada para anggota pasukan yang terlibat dalam
peperangan (pada kasus tertentu, beberapa orang yang tidak terlibat dalam
peperangan juga memperoleh bagian). Penunggang kuda memperoleh 2 bagian, yakni
untuk dirinya sendiri dan untuk kudanya. Yang berhak memperoleh bagian adalah
hanya tentara laki-laki, sedangkan wanita yang hadir untuk membantu beberapa
hal tidak berhak memperoleh bagian dari rampasan perang.
Pada tahun ke-2
Hijriyyah, Allah Swt mewajibkan kaum Muslimin menunaikan zakat fitrah pada
setiap bulan Ramadhan. Besar zakat ini adalah 1 sha’ kurma, tepung,
keju lembut, atau kismis; atau setengah sha’ gandum, untuk setiap
Muslim, baik budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, muda atau tua,
serta dibayarkan sebelum pelaksanaan shalat ‘Id. Setelah kondisi
perekonomian kaum Muslimin stabil, tahap selanjutnya Allah Swt mewajibkan zakat
māl pada tahun ke-9 Hijriyyah.
Pada masa
pemerintahannya, Rasulullah Saw menerapkan jizyah, yakni pajak yang
dibebankan kepada orang-orang non-Muslim, khususnya Ahli Kitab, sebagai jaminan
perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta
pengecualian dari wajib militer. Besarnya jizyah adalah 1 dinar/tahun
untuk setiap laki-laki dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak,
pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa, dan semua yang menderita
penyakit dibebaskan dari kewajiban ini.
Pada masa
Rasulullah Saw, zakat dikenakan pada hal-hal berikut:
i.
Benda logam
yang terbuat dari emas, seperti koin, perkakas, perhiasan atau dalam bentuk
lainnya.
ii.
Benda logam
yang terbuat dari perak, seperti koin, perkakas, perhiasan atau dalam bentuk
lainnya.
iii.
Binatang
ternak, seperti unta, sapi, domba dan kambing.
iv.
Berbagai jenis
barang dagangan, seperti budak dan hewan.
v.
Hasil
pertanian, seperti buah-buahan.
vi.
Harta benda
yang ditinggalkan musuh.
vii.
Luqaţah, Barang
temuan.
Data sejarah
menunjukkan bahwa jumlah total pendapatan negara pada masa Rasulullah Saw tidak
dapat diketahui. Menurut para sejarawan Muslim, hal ini disebabkan beberapa
alasan, yaitu:
i.
Jumlah kaum Muslimin yang bisa membaca
sedikit, dan dari jumlah ini, orang yang dapat menulis atau mengenal aritmatika
sederhana berjumlah lebih sedikit lagi.
ii.
Sebagian besar
pendapatan bernilai setara dan didistribusikan atau diberikan dalam bentuk yang
sama.
iii.
Sebagain besar
pendapatan zakat hanya didistribusikan secara lokal.
iv.
Bukti-bukti
penerimaan dari berbagai daerah yang berbeda tidak umum digunakan.
v.
Pada kebanyakan
kasus, harta ghanimahdidistribusikan berselang tidak lama setelah terjadi
peperangan tertentu.
b.
Sumber-Sumber
Pengeluaran Negara
Catatan
mengenai pengeluaran secara rinci pada masa pemerintahan Rasulullah Saw juga
tidak tersedia. Namun demikian, hal ini tidak berarti menimbulkan kesimpulan
bahwa sistem keuangan yang ada pada masa itu tidak berjalan dengan baik dan
benar. Rasulullah senantian memberikan perintah yang jelas dan tegas kepada para
petugas yang sudah terlatih.
Dalam
kebanyakan kasus, beliau menyerahkan pencatatan penerimaan zakat kepada
masing-masing petugas. Setiap perlindungan yang ada disimpan dan diperiksa
sendiri oleh Rasulullah, dan setiap hadiah yang diterima oleh para pengumpul
zakat akan disita, seperti yang terjadi pada kasus Al-Lutbigha, pengumpul zakat
dari Bani Salim. Berkaitan dengan pengumpulan zakat ini, Rasulullah sangat
menaruh perhatian terhadap zakat harta, terutama zakat unta.
Orang Urania
pernah diberi hukuman berat karena mencuri zakat unta. Hasil
pengumpulan kharaj dan jizyah didistribusikan melalui suatu
daftar pembayaran yang berisi nama-nama orang yang berhak menerimanya.
Masing-masing menerima bagian sesuai dengan kondisi materialnya, orang yang
sudah menikah memperoleh bagian dua kali lebih besar daripada orang yang belum
menikah.
4.
Bait al-Māl.
Sebelum Islam
hadir di tengah-tengah umat manusia, pemerintahan suatu negara dipandang
sebagai satu-satunya penguasa kekayaan dan perbendaharaan negara. Dengan
demikian, pemerintah bebas mengambil harta kekayaan rakyatnya sebanyak mungkin
serta membelanjakannya sesuka hati. Hal ini berarti, sebelum Islam datang,
tidak ada konsep tentang keuangan publik dan perbendaharaan negara di dunia.
Dalam negara Islam, tampuk kekuasaan dipandang sebagai sebuah
amanah yang harus dilaksanakan sesuai perintah Al-Qur’an. Hal ini telah
dipraktekkan oleh Rasulullah Saw sebagai seorang kepala negara secara baik dan
benar. Beliau tidak menganggap dirinya sebagai seorang raja atau pemerintah
dari suatu negara tetapi sebagai orang yang diberikan amanah untuk mengatur
urusan negara.
Namun, tidak
disebutkan adanya seorang bendaharawan negara. Kondisi seperti ini hanya
mungkin terjadi di lingkungan yang mempunyai sistem pengawasan yang ketat. Pada
perkembangan berikutnya, institusi ini memainkan peran yang sangat penting
dalam bidang keuangan dan administrasi negara, terutama pada masa
pemerintahan Al-Khulafa Ar-Rasyidun.
terima kasih atas ulasannya.
BalasHapus